ISU match fixing atau pengaturan skor kembali menyeruak ke permukaan seiring dengan sejumlah kejadian 'aneh' jelang berakhirnya kompetisi musim 2018, terutama di level Liga 2.
Dimana penggemar sepak bola Tanah Air sempat dikejutkan oleh cara 'aneh' pemain PS Mojokerto Putra (PSMP), Krisna Adi Tama saat melakukan eksekusi penalti saat berhadapan dengan Aceh United pada laga terakhir babak 8 besar Grup A.
Saat itu PSMP sebenarnya memiliki peluang untuk lolos ke semifinal sekaligus membuka peluang promosi ke Liga 1 andai tendangan penalti tersebut bisa berbuah gol.
Tapi Krisna Adi gagal mengeksekusi penalti di menit 88 tersebut dan PSMP pun harus menelan kekalahan 2-3 dari Aceh United yang sebenarnya sudah dipastikan tidak lolos ke semifinal.
Hasil ini juga secara tidak langsung turut membantu Kalteng Putra lolos ke semifinal yang pada saat bersamaan kalah dari tuan rumah Semen Padang.
Bukan masalah kegagalan penalti Krisna Adi yang menjadi sorotan, melainkan cara saat Krisna Adi melakukan tendangan penalti yang dinilai tak lazim. Tak sedikit pihak yang menuding Krisna Adi sengaja menendang bola tidak tepat sasaran.
Tudingan-tudingan miring tersebut akhirnya membuat Komdis PSSI melayangkan surat panggilan kepada sang pemain.
Bahkan acara talkshow Mata Najwa di stasiun televisi TransTV, Rabu (28/11/2018) malam. Dengan mengangkat tema 'PSSI Bisa Apa' Mata Najwa menguak bobroknya sepak bola Indonesia akibat dirasuki oleh mafia judi.
Yang menarik perhatian publik adalah munculnya beberapa nama yang diduga sebagai mafia sepak bola di Indonesia.
Di antanya pengelola PSMP Mojokerto, Vigit Waluyo. Kemudian Hidayat, salah satu anggota Executive Committee (Exco) PSSI dan pria bernama Tony yang disebut-sebut sebagai seorang bandar judi asal Kamboja.
Ketiga nama yang diduga jadi bagian dari jaringan mafia sepak bola Indonesia tersebut dibeberkan sejumlah pihak yang menjadi narasumber dalam acara Mata Najwa episode 'Bisa Apa PSSI'.
Madura FC, Januar Herwanto adalah sosok yang menyebut borok dari anggota Exco PSSI, Hidayat yang pernah mengiming-imingi dirinya uang antara Rp100 juta sampai Rp150 juta sebagai imbalan jika Madura FC mau mengalah dari PSS Sleman dalam laga babak 8 besar Grup B kompetisi Liga 2 musim 2018.
Hidayat membantah tudingan yang dilontarkan oleh Januar dan berani bersumpah tidak pernah terlibat melakukan praktik match fixing atau pengaturan skor.
Namun begitu dia tak menyanggah pernah berkomunikasi dengan Januar.
"Saya tidak pernah melakukan pengaturan skor sebagaimana yang dituduhkan Manajer Madura FC. Peristiwa yang disampaikan Januar benar adanya (soal sambungan telpon dan berbalas pesan WA). Saya WA dan telepon manajer Madura FC. Tetapi substansinya yang direkayasa," ungkap Hidayat seperti dilansir indosport.com, Kamis (29/11/2018).
Sementara narasumber lainnya di acara Mata Najwa bernama Bambang Suryo yang pernah terlibat dalam praktek pengaturan skor menyebut nama Tony, bandar judi asal Kamboja yang selama ini kerap mencoba mengendalikan sepak bola Indonesia.
Bambang Suryo sebelumnya pernah melakukan praktek haram dengan menjadi runner pengaturan skor sebelum dirinya memutuskan 'insyaf' mencari uang kotor dari praktik yang sangat menodai nilai-nilai sportivitas.
“Bandar dari Bet365 Kamboja (salah satu rumah judi) pernah menghubungi saya, namanya Tony, dan saya pernah bertemu dengan beliau sebelum kompetisi berputar, dibiayai sama mereka. Mereka mau carikan tim, kamu bisa kontrol di sini (Indonesia), kamu sebagai orang nomor satu di Indonesia untuk mengontrol semua," ungkap Bambang Suryo dalam acara talkshow Mata Najwa, Rabu (28/11/2018) malam seperti dilansir indosport.com, Kamis (29/11/2018).
Sosok berikutnya yang disebut Bambang Suryo diduga terlibat pengaturan skor adalah pengelola PSMP Mojokerto, Vigit Waluyo. Bahkan, Vigit dinilai memiliki pengaruh sangat besar dalam menjalankan praktik match fixing di semua level kompetisi, termasuk di kasta tertinggi Liga 1.
Bahkan indosport.com dalam artikelnya berjudul "Diduga Dalang Match Fixing Sepak Bola Nasional, Siapakah Vigit Waluyo?" yang dilansir Kamis (28/11/2018) menulis bahwa Vigit merupakan figur penting yang mengatur tim mana yang jadi juara, tim mana yang promosi atau degradasi dan lain sebagainya.
Sosok Vigit sendiri memang kontroversial, sebab dirinya juga sempat terlibat kasus dugaan penyelewengan anggaran di PDAM Sidoarjo. Namanya bahkan sempat masuk daftar pencarian orang (DPO). Selain itu, Vigit pun dituding jadi biang di balik dualisme yang terjadi di Persebaya Surabaya.
Tapi entah kenapa, meski dikenal sebagai figur yang 'kotor' Vigit masih dipercaya untuk mengelola klub sepak bola di Indonesia dan seolah situasi itu dibiarkan oleh federasi meski faktanya tahu Vigit memiliki rekam jejak yang tidak layak untuk masuk sebagai pengurus sepak bola.
"Saya sebutkan salah satu nama yang saya bilang sontoloyo tadi itu Vigit Waluyo," kata Bambang Suryo.
Nama Vigit, diakui mantan pelatih Timnas Indonesia U-16, Fakhri Husaini sebagai sosok yang cukup berpengaruh dan tidak boleh dikesampingkan jika membahas persoalan match fixing atau pengaturan skor di sepak bola Indonesia. "Semua stakeholder sepak bola pasti tahu Vigit Waluyo," jelas Fakhri tanpa ragu.
Namun begitu tudingan mafia sepak bola di Indonesia hingga kini lebih banyak hanya sebatas bahasan dan analisa-analisa tanpa pernah ada bukyi nyata seperti saat KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap koruptor.
Fakta bahwa mafia sepak bola di Indonesia seperti hantu inilah yang membuat banyak pihak terkait dan berwenang harus membuktikan bahwa praktik kotor di sepak bola memang adanya. Jangan hanya sekadar bicara dan dibahas ramai-ramai seperti masuk angin, tapi selang beberapa saat kemudian langsung menghilang.
Baca Sumber
Baca Sumber
Mesothelioma is a rare type of cancer that develops in the pleura, a thin membrane that separates the lung from the chest wall. As it progresses along the membrane, it results in breathing difficulties, chest pain and fever. It usually occurs from prior exposure to asbestos, a type of mineral fiber used in the insulation industry. Less commonly, mesothelioma can also arise, less commonly, along the lining of the abdomen.
Mesothelioma, unlike other cancers, tends to grow mainly along the surface of the lung and other surfaces of the chest resulting in pain from invasion of nerves, and shortness of breath from compression of the lungs or restriction of lung expansion. Tumor nodules and fluid accumulates along the pleural space between the lung and the chest wall. Sometimes the growth of the tumor leads to fever. Though mesothelioma can spread to chest lymph nodes and invade into the lung, it is rare for it to spread to the rest of the body. Left untreated, mesothelioma worsens and can cause death.
Mesothelioma generally occurs in people who have previously been exposed to asbestos, sometimes 40 to 60 years prior to the diagnosis. In most cases, mesothelioma occurs at least 20 years after asbestos exposure. Those who get mesothelioma are usually exposed to higher levels of asbestos than those who get other asbestos-related disease, including lung scarring (fibrosis) and lung cancer.
Asbestos exposure: Asbestos is a mineral fiber that resists fire and heat, and has been used in insulation and fire retardant materials. Concerns over human safety appeared at the beginning of the 20th and its use was finally banned or tightly regulated in most countries 30 years ago. Most individuals who develop mesothelioma due to asbestos were exposed during their work, called an "occupational exposure". The typical occupations associated with exposure to asbestos include mining or milling, electricians, plumbers, pipe-fitters, insulators and even individuals who have remodeled older homes or lived with workers exposed to asbestos. Living in a house that contains asbestos is not generally considered to be a cause of mesothelioma when the asbestos is enclosed in walls and ceilings, and not directly breathed by individuals.
Smoking is not a risk factor for mesothelioma; however, quitting smoking is extremely important: asbestos exposure does not increase the risk of mesothelioma, but does increase the risk of lung cancer in general.
Other types of fibers, such as erionite, are thought to be responsible for mesothelioma, as well. Erionite has been identified in a specific region in Turkey called Cappadocia and is thought to be responsible for the high rate of mesotheliomas observed in that area.
Age: The risk of developing mesothelioma increases with age. This is due to the fact that it takes a long time for mesothelioma to develop after asbestos exposure, usually at least 20 years. This length of time from exposure to malignancy is called latency.
Other causes have been discovered, including prior radiation therapy, particularly in patients who have received high doses of radiation therapy to the chest for cancer, such as in the treatment of lymphoma, and certain rare genetic mutations. These causes are much less common than asbestos exposure.